Sabtu, 13 September 2014

Sepenggal Kisah di Tanah Pengabdian

14 Makhluk biasa yang dipertemukan dengan cara biasa, dikumpulkan dalam gubuk sederhana dengan ukuran kamar 3x3, bermimpi membangun desa meski hanya sanggup mengacaukan desa, mengabdi dengan ikhlas meski tidur tak beralas, namun pikiran cemerlang tanpa batas. Berkumpul merenungi nasib dengan nada pesimis namun tetap optimis dan tentu nya narsis. Mencoba berlari menembus batas imajinasi, karena merasa tak sendiri dan semua nya harus dihadapi, hayati, dan nikmati.

Perjuangan pun dimulai ketika seluruh kelompok yang terabdikan beranjak masuk kedalam bus. Tangis terpendam di balik senyum penuh keraguan muncul ketika menyaksikan orang-orang yang disayang mulai berangsur menjauhi bus yang bergerak meninggalkan tempat pemberhentiannya. Saat itu juga terlintas pertanyaan di benak, berapa lamakah penderitaan ini akan berlangsung.

Tiba ditempat pengabdian, niat hati ingin meluruskan badan, tapi gubuk kecil ini belum pantas jadi tempat peristirahatan. Jangankan untuk  mencuci badan, air yang tersedia pun tak cukup untuk mencuci tangan. Karena sadar akan kehidupan yang harus tetap berjalan, dengan semangat 45 kami berjuang untuk mencari tempat mencuci badan.

Sebelum jauh bercerita, ada baiknya kami memperkenalkan nama kami terlebih dahulu(ga penting juga sih). Dimulai dari perempuan tangguh dan luar biasa : Ade Minarni, Aisah Fachrunisa, Ita Rahmadayani, Ria Syofiati, Rieskariesha Kiswara, Sri Puspa Dewi, dan Siska Lidya Pangestika (maaf kalo ada salah pengetikan nama). Mereka lah permata yang harus dijaga, mereka lah pemberi senyum kebahagian di gubuk sederhana, mereka lah semangat yang tak pernah padam, meski mereka rela panas-panasan kulit nya jadi hitam. Selanjutnya, kita panggilkan Pejantan-pejantan Tangguh abad ini(lebay kali bung) : Arfan Saleh siregar, Ishak Erawadi, Muhammad Isnainy Ramadhan(agak panjang yach), Muhammad Zein, Risman Efendi, Taufiq Hidayat, dan Willy Ponco. Laki-laki sederhana namun kaya raya(amin), tanggap siap dan sigap dalam bekerja, bertanggungjawab dan ikhlas melindungi para wanita nya, lantang dan tegas ketika berbincang dengan warga, namun lembut ketika merayu wanita(umpan serak).

Bersambung!!!!! (gantung ya cerita nya?)

Kamis, 04 September 2014

Berlaku Adil Pada “Aliran Menyimpang"

Penulis merasa “gegabah” jika menyebut Al Qiyadah Al Islamiyah, Komunitas Eden, Ahmadiyah, dan sejenisnya, sebagai bentuk aliran sesat. Istilah lain yang lebih cocok untuk menyebut mereka, mungkin adalah “aliran menyimpang”. Sebab, kata “sesat” dalam spektrum religius, adalah bermakna kafir (tertutup dari petunjuk Tuhan). Kafir adalah sebentuk sikap anti-iman, yang derajatnya sama seperti menentang ajaran-Nya. Namun faktanya, seorang Ahmad Mushaddeq atau Lia Aminudin, bukanlah manusia yang didapat sedang melawan Tuhan. Mereka justeru tengah berupaya mendekatkan diri kepada-Nya, kendati dengan “caranya sendiri” yang dianggap tak lazim oleh kita.

Hanya saja persoalannya, syari’at (cara, metodologi, atau jalan) yang mereka tempuh, sedemikian “berbeda” serta “menyimpang” dari arus mainstream atau mayoritas yang ada saat ini. Dalam pada itu, peng”aku-aku”an mereka yang kontroversial (misalnya sebagai rosul, utusan jibril, dsb) dianggap sebagai pengakuan sesat (fitnah). Dan secara otomatis, syariat baru yang mereka bawa, diyakini sebagai penistaan bagi agama Islam.

Bersikap Adil
Lantas sedasyat apa mereka bersalah? Bukankah kita sudah terbiasa dengan perbedaan? Lagipula, antara “kita” dan “mereka” hanya berbeda “cara”, sementara sama menuju tujuan yang satu (baca: Tuhan). Toh, bila terjadi perbedaan yang amat prinsipil, mengapa kita tak menempuh jalur diplomatif, syuro, dan menggunakan jalur hukum yang pro-justicia? Kenapa dalam menanggapi perbedaan, kita sering terjebak memakai cara-cara kekerasan?

Semua pendapat di atas, itu bukan berarti penulis membela atau sepakat dengan mereka. Tetapi, penulis berusaha menempatkan persoalan sesuai dengan porsinya serta proporsional. Ingat pesan Al-Qur’an “janganlah kebencianmu pada suatu kaum, sehingga menyebabkan kamu berlaku tidak adil”.

Faktor yang memicu

Fenomena munculnya aliran menyimpang di berbagai belahan dunia, dan khususnya di Indonesia, disebabkan oleh beberapa faktor yang memicunya.

Pertama, dunia yang dikerangkai oleh sistem kapitalisme global, pada gilirannya meluluh-lantahkan berbagai epistem kehidupan, termasuk sistem berislam. Bagi kaum muslim, tak mudah untuk bisa menerapkan nilai-nilai Islam di tengah tekanan zaman kapitalis ini. Ajaran agama yang syarat akan nilai transendensi, digusur oleh pandangan yang mementingkan duniawi semata. Orang muslim tetap shalat, puasa, serta berhaji, namun semua itu tak berdampak pada tumbuhnya kesalehan sosial. Singkatnya, meski beribadah, tapi tetap saja korup, dusta, dan bermaksiat.

Di lain sisi, para pemimpin kita yang notabene Islam, juga tak mampu membawa bangsa ini keluar dari kemelut krisis yang kompleks. Malahan mereka larut dalam kerusakan sistem politik yang ada. Pertanyaannya: apakah ada kesalahan dalam agama Islam, sehingga umatnya tak dapat menjalankan ajarannya? Jelas itu bukan umat tapi oknum. Kalau “oknum”, kenapa ada dalam jumlah yang sangat banyak? Jika demikian, itu bukan oknum, tapi “komunitas”.

Bila terjadi keberdosaan-keberdosaan di kalangan komunitas muslim, berarti mesti ada ajaran (system) Islam yang harus diperbaharui, mungkin begitu pikir Mushaddeq, Lia, dkk.

Kedua, kritisisme di kalangan generasi muda Islam, tumbuh sedemikian besar. Kaum muda tak puas dengan kondisi umat sekarang. Perlu ada “revolusi”, demikian semangatnya. Alih-alih revolusi, yang terjadi justeru dekonstruksi bahkan destruktif atas sistem Islam. Sikap kritis, tak puas, dan selalu mencari alternatif jalan baru dalam konteks beragama, pantas untuk dihargai. Namun jika hal itu tak diimbangi oleh basis pengetahuan agama serta keimanan yang kukuh, sikap tersebut hanya akan berujung pada kenaifan belaka. Kasus Al Qiyadah—yang banyak diminati oleh kelompok pelajar dan mahasiswa—dalam konteks ini, dapat dijadikan pelajaran.

Ketiga, terjadinya dikotomi antara eksistensi dan esensi Islam. Ketika eksisten Islam dinodai (misalnya: kantunisasi nabi, pembajakan hadist, dsj), umat marah dan protes besar. Namun kala terjadi pengerukan emas oleh Freeport, swastanisasi aset rakyat, korupsi merajalela, umat dan umaro-nya tak banyak berbuat apa-apa. Padahal di saat penjajahan dan penindasan terjadi, disitulah esensi Islam sedang dinistakan.

Akibatnya, sebagian orang perlahan ragu dengan “Islam lama”, lantas segera mencari “Islam baru” yang dianggap bisa lebih memberi “harapan” akan konsep Islam yang tak dikotomis. Ujung-ujungnya, pencarian itu “diujicobakan” dengan masuk ke jaringan Al Qiyadah, Eden, NII, yang siapa tahu, dapat mewujudkan “harapan” itu.

Keempat, wajah dunia yang melulu materialistik, telah membuat kita jenuh. Dunia kering akan nuansa spiritual. “Protes” komunitas Eden, jelas pada kondisi ini. Mereka lalu menyusun antitesa, dengan melahirkan agama baru yang mementingkan dahaga jiwa. Kesufian (menyepi dan menghindari muluknya keramaian duniawi) adalah jalan yang ditempuh Lia beserta murid-muridnya. Apa yang ditawarkan komunitas Eden, jelas suatu ilusi. Namun, sejauh materialisme masih mendominasi umat Islam, sejauh itu pula “penyimpangan” ala mereka, akan terus berlanjut.

Kelima, boleh jadi timbulnya aliran-aliran menyimpang, adalah rekayasa asing, seperti yang diprediksi oleh sejumlah tokoh. Tujuannya untuk mengacaukan nasionalitas Indonesia, dan memecah kesatuan umat Islam. Indonesia yang secara demografi sangat besar, dan merupakan negara terbanyak penduduk muslimnya, adalah ladang empuk bagi permainan kotor kelompok-kelompok yang anti-Islam.

Pesan Moral

Lima faktor tersebut, kurang-lebih merupakan hipotesa penulis, yang masih bisa diperdebatkan benar-salahnya. Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi dari kasus munculnya aliran menyimpang, adalah kritik pada kondisi internal umat Islam itu sendiri. Pesan moralnya, Islam ke depan harus mampu dihadirkan secara komprehensif; baik dari segi individual, sosial, maupun sistem keberhidupannya.

Ada banyak hal yang dapat kita perbuat untuk kemajuan Islam dan perubahan bangsa ini.

Tulisan ini dimuat di koran WAWASAN 4 Desember 07

Jumat, 29 Agustus 2014

Pengalaman adalah jembatan kehidupan

"Pengalaman mengajarkan kita arti kehidupan" sebuah kutipan yang tidak saya ketahui pemiliknya ini memaksa saya untuk serius dalam sebuah pengabdian. Bagaikan sebuah buku yang kata nya jembtan ilmu, pengalaman merupakan jembatan kehidupan. Semakin banyak pengalaman yang kita dapatkan, semakin siap pula kita menjalani kehidupan.

Mengingatkan saya dengan sebuah kalimat singkat yang terlontar dari mulut seorang tokoh penting dalam hidup saya, yang setiap langkahnya menjadi acuan bagi saya. Beliau berkata "nak, hidup bukanlah pilihan, hidup adalah pengembaraan, untuk hidup kau tak akan punya pilihan, silahkan berpetualang perbanyak pengalaman". Kalimat ini terlontar 7 Tahun yang lalu, saat aku belum mampu mengartikan maksud dari kalimat ini.

Seiring berjalannya waktu, angin mengarahkan langkahku untuk sampai kepada saat dimana aku bisa merasakan maksud dari kalimat beliau. Bukan sekedar mengetahui maknanya, maksud dari kalimat itu langsung bisa ku rasakan. Di saat semua kaget dengan kondisi ini, aku hanya terdiam heran. Mengapa beliau yang hanya berpendidikan S ke 3(SMA) bisa menyampaikan pesan untuk anaknya yang hanya bisa dipahami ketika anaknya berada di perguruan tinggi.

Kata-kata seperti ini kembali bisa ku dengar ketika bertemu dengan kepala desa tempat ku terabdikan. Beliau memiliki pemikiran yang sama dengan sosok paling berpengaruh dalam hidupku. Mereka mengawali karir nya dengan langkah yang sama, yaitu sebagai kepala desa dengan pendidikan dibawah rata-rata. Banyak sekali ilmu yang bisa ku dapatkan dari perbincangan dengan beliau. Hingga saat ini aku benar-benar mengerti apa sebenarnya maksud dari kalimat sederhana yang dilontarkan oleh mulut nya(yang ku panggil Ayah).